Rabu, 04 Januari 2012

Akal dan Wahyu Menurut Aliran-aliran Ilmu Kalam

BAB I
PENDAHULUAN


Puji syukur kepada Allah Rabb semesta alam yang telah banyak mencurahkan rahmat dan juga kasih sayangnya kepada penduduk bumi sehingga Islam masih menjadi pondasi yang kokoh dalam diri pribadi manusia.
Shalawat serta salam tak lupa kita hadiahkan kepada nabi Muhammad SAW juga beserta para sahabatnya yang istiqomah memperjuangkan Islam, semua ini tiada lain adalah hasil dari akal dan wahyu yang selalu berdampingan dalam memberikan petunjuk kepada manusia itu sendiri, karena pemahaman yang baik akan melahirkan keistiqomahan, sudut pandang yang baik dan juga ahlak yang baik. Dan dengan akal jua manusia bisa menjadi ciptaan pilihan yang Allah amanatkan untuk menjadi pemimpin di muka bumi ini, begitu juga dengan wahyu yang dimana wahyu adalah pemberian Allah yang sangat luar biasa untuk membimbing manusia pada jalan yang lurus.
Semua aliran teologi dalam islam baik Asy”ariyah, Maturidiyah apalagi Mu’tazilah sama-sama mempergunakan akal dalam menyelesaikan persoalan-persoalan teologi yang timbul dikalangan umat Islam. Perbedaan yang terdapat antara aliran-aliran itu ialah perbedaan derajat dalam kekuatan yang diberikan kepada akal, kalau Mu’tazilah berpendapat bahwa akal mempunyai daya yang kuat, Asy’ariyah sebaliknya akal mempunyai daya yang lemah.
Akal dan wahyu adalah suatu yang sangat urgen untuk manusia, dialah yang memberikan perbedaan manusia untuk mencapai derajat ketaqwaan kepada sang Kholiq, akal pun harus dibina dengan ilmu-ilmu sehingga menghasilkan budi pekerti yang sangat mulia yang menjadi dasar sumber kehidupan dan juga tujuan dari baginda Rasulullah SAW.
Semua aliran juga berpegang kepada wahyu, dalam hal ini yang terdapat pada aliran tersebut adalah hanya perbedaan dalam interpretasi. Mengenai teks ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits. Perbedaan dalam interpretasi inilah, sebenarnya yang menimbulkan aliran-aliran yang berlainan itu tentang akal dan wahyu. Hal ini tak ubahnya sebagai hal yang terdapat dalam bidang hukum Islam atau fiqih.


BAB II
PEMBAHASAN
  1. Pengertian Wahyu dan Akal
Secara konseptual, istilah wahyu menunjukkan kepada nama-nama yang lebih populer seperti Al-Kitab, Al-Qur’an, Risalah, dan Balagh. Dalam terminologi Islam, wahyu yang dibawa oleh Nabi Muhammad itu dinamakan Al-Qur’an. Al-Qur’an adalah kitab dan Firman Tuhan yang disampaikan kepada Nabi SAW. dengan demikian wahyu menurut konsepsi Al-Qur’an, merupakan parole tuhan, wahyu sama dengan firman Tuhan (kalam Allah).
Sebagaimana firman Allah, dalam surat At-Taubah ayat 6:
Artinya: “Dan jika seseorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah (kalam Allah).” (Q.S. At-Taubah:6)

Menurut Nasr Hamid Abu Zaid, seorang ahli tafsir kontemporer, sebenarnya “wahyu” dalam mengacu kepada Al-Qur’an, tidaklah sebagaimana dikemukakan diatas, bahkan makna wahyu lebih luas dan mencakup semua teks yang menunjuk kepada titah allah kepada manusia. Dari sisi lain, wahyu menunjuk pada setiap proses komunikasi yang mengandung semaam “pemberian informasi”, sesuai dengan yang terungkap dalam kamus lisan Al-arab disebutkan bahwa asal makna wahyu menurut semua bahasa adalah pemberian informasi secara tersembunyi.1
Sedangkan pembahasan tentang akal, sampai sekarang masih berkelanjutan. Didalam bahasa arab, akal diartikan kecerdasan, lawan kebodohan, dan diartikan pula dengan hati (qalb), suatu kekuatan yang membedakan manusia dari semua jenis hewan.2
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, akal adalah daya pikir untuk memahami sesuatu atau kemampuan melihat cara-cara memahami lingkungannya. Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan akal adalah gabungan dari dua pengertian di atas, yang disampaikan oleh ibn Taimiyah dan menurut kamus, yakni daya pikir untuk memahami sesuatu, yang di dalamnya terdapat kemungkinan bahwa pemahaman yang didapat oleh akal bisa salah atau bisa benar.3
Ibn Rusyd, sebagaimana dikutip oleh Abdul Salim Mukrim, membagi akal menjadi tiga macam, Pertama, akal demonstratif (burhani) yang mampu memahami dalil-dalil yang meyakinkan dan tepat, menghasilkan hal-hal yang jelas dan penting, dan melahirkan filsafat. Akal ini hanya diberikan kepada sedikit orang saja. Kedua, akal logika (mathiqi) yang sekedar memahami fakta-fakta argumentatif. Ketiga, akal retorik (khithabi) yang hanya mampu mengkap hal-hal yang bersifat nasihat dan retorik, tidak dipersiapkan untuk memahami aturan berfikir sistematika.

  1. Karakteristik Wahyu
  1. Wahyu baik berupa Al-qur’an dan Hadits bersumber dari Tuhan, Pribadi Nabi Muhammad yang menyampaikan wahyu ini, memainkan peranan yang sangat penting dalam turunnya wahyu.
  2. Wahyu merupakan perintah yang berlaku umum atas seluruh umat manusia, tanpa mengenal ruang dan waktu, baik perintah itu disampaikan dalam bentuk umum atau khusus.
  3. Wahyu itu adalah nash-nash yang berupa bahasa arab dengan gaya ungkap dan gaya bahasa yang berlaku.
  4. Apa yang dibawa oleh wahyu tidak ada yang bertentangan dengan akal, bahkan ia sejalan dengan prinsip-prinsip akal.
  5. Wahyu itu merupakan satu kesatuan yang lengkap, tidak terpisah-pisah.
  6. Wahyu itu menegakkan hukum menurut kategori perbuatan manusia. baik perintah maupun larangan.
  7. Sesungguhnya wahyu yang berupa al-qur’an dan as-sunnah turun secara berangsur-angsur dalam rentang waktu yang cukup panjang.
  1. Pentingnya Akal.
Manusia sebagai makhluk yang paling sempurna diciptakan Allah mempunyai banyak sekali kelebihan jika dibandingkan dengan mahklukmahkluk ciptaan Allah yang lainnya.
Bukti otentik dari kebenaran bahwa manusia merupakan makhluk yang paling sempurna di antara mahkluk yang lain adalah ayat al-Quran surat At-Tin ayat 4 sebagai berikut:
Artinya: “Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaikbaiknya”. (QS At-Tin [95]: 4).
 
Satu hal yang membuat manusia lebih baik dari mahkluk yang lain yaitu manusia mampu berpikir dengan akalnya, karena manusia dianugerahi oleh Allah dengan akal sehingga dengannya manusia mampu memilih, nmempertimbangkan, menentukan jalan pikirannya sendiri. Agama Islam sangat menjunjung tinggi kedudukan akal. Dengan akal manusia mampu memahami al-Qur’an sebagai wahyu yang diturunkan lewat Nabi Muhammad, dengannya juga manusia mampu menelaah kembali sejarah Islam dari masa lampau.
  1. Akal menurut pendapat Muhammad Abduh adalah suatu daya yang hanya dimiliki manusia dan oleh karena itu dialah yang memperbedakan manusia dari mahkluk lain.
  2. Akal adalah tonggak kehidupan manusia yang mendasar terhadap kelanjutan wujudnya, peningkatan daya akal merupakan salah satu dasar dan sumber kehidupan dan kebahagiaan bangsa-bangsa.
  3. Akal adalah jalan untuk memperoleh iman sejati, iman tidaklah sempurna kalau tidak didasarkan akal. Iman harus berdasar pada keyakinan, bukan pada pendapat, dan akalah yang menjadi sumber keyakinan pada Tuhan.
  1. Kekuatan akal dan Kekuatan wahyu
  • Kekuatan Akal
  1. Mengetahui Tuhan dan sifat-sifatnya.
  2. Mengetahui adanya kehidupan akhirat.
  3. Mengetahui bahwa kebahagian jiwa di akhirat bergantung pada mengenal Tuhan dan berbuat baik, sedang kesengsaraan tergantung pada tidak mengenal Tuhan dan pada perbuatan jahat.
  4. Mengetahui wajibnya manusia mengenal Tuhan.
  5. Mengetahui wajibnya manusia berbuat baik dan wajibnya ia menjauhi perbuatan jahat untuk kebahagiannya di akhirat.
  6. Membuat hukum-hukum mengenai kewajiban-kewajiban itu.

  • Kekuatan wahyu
  1. Wahyu lebih condong melalui dua mukjizat yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah.
  2. Membuat suatu keyakinan pada diri manusia.
  3. Untuk memberi keyakinan yang penuh pada hati tentang adanya alam ghaib.
  4. Wahyu turun melalui para ucapan Nabi-nabi.
  1. Akal dan Wahyu Menurut Aliran-aliran Ilmu Kalam
  1. Menurut Mu’tazilah
Menurut Mu’tazilah, fungsi wahyu adalah dibawah fungsi akal. Mereka lebih memuji akal mereka dibanding dengan ayat-ayat suci dan hadits-hadits Nabi.
Segala sesuatu ditimbangnya lebih dahulu dengan akalnya mana yang tidak sesuai dengan akalnya dibuang, walaupun ada hadits dan Ayat Al-Qur’an yang bertalian dengan masalah itu, tetapi berlawanan dengan akalnya. Jadi jelasnya menurut kaum Mu’tazilah, fungsi akal lebih tinggi ketimbang wahyu.
  1. Menurut Salafiyah
Menurut Salafiyah, fungsi wahyu jauh lebih tinggi dibandingkan dengan fungsi akal.
Jalan untuk mengetahui aqidah dan hukum-hukum dalam Islam dan segala sesuatu yang bertalian dengan itu, baik yang pokok maupun yang cabang, baik aqidah itu sendiri maupun dalil-dalil pembuktiannya, tidak lain sumbernya ialah wahyu Allah SWT yakni Al-Qur’an dan juga Hadits-hadiits Nabi SAW sebagai penjelasannya. Apa yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an dan dijelaskan oleh Sunnah Nabi harus diterima dan tidak boleh ditolak.4
Akal pikiran tidak mempunyai kekuatan untuk mentakwilkan Al-Qur’an atau mentafsirkannya ataupun menguraikannya, keucali dalam batas-batas yang diizinkan oleh kata-kata (bahasa) yang dikuatkan pila oleh hadits-hadits. Kekuatan akal sesudah itu tidak hanya membenarkan dan tunduk pada nash, serta mendekatnya kepada alam pikiran.
Jadi fungsi akal pikiran tidak lain hanya menjadi saksi pembenaran dan penjelas dalil-dalil Al-Qur’an , bukan menjadi hakim yang mengadili dan menolaknya.
  1. Menurut Asy’ariyah
Menurut Asy’ariyah, fungsi wahyu (Al-Qur’an) dan hadits adalah sebagai pokok, sedang fungsi akal adalah sebagai penguat Nash-nash wahyu dan hadits.
Al-Asy’ari tidak dapat menjauhkan diri dari pemakaian akal dan argmentasi pikiran. Ia menentang keras terhadap mereka yang mengatakan bahwa pemakaian akal pikiran dalam soal-soal agama atau membahas soal-soal yang tidak pernah disinggung-singgung oleh Rasul adalah suatu kesalahan. Menurut Al-Asy’ari, sahabat-sahabat Nabi sendiri, sesudah nabi wafat, banyak membiarakan soal-soal baru dan meskipun begitu, mereka tidak disebut orang-orang sesat (bid’ah).
Didalam bukunya berjudul “Istishan Al-Khaudhi Fi Ilmil Kalam” (kebaikan menyelami ilmu kalam), ia menentang keras terhadap orang yang berkeberatan membela agama dengan ilmu kalam dan argumentasi pikiran, karena hal ini tidak ada dasarnya dalam Al-Qur’an dan Hadits.
Bagi kaum al-Asy’ari, karena akal dapat mengetahui hanya adanya Tuhan saja, wahyu mempunyai kedudukan penting. Manusia mengetahui baik dan buruk dan mengetahui kewajiban-kewajiban hanya karena turunnya wahyu. Dengan demikian, sekiranya wahyu tidak ada, manusia tidak akan mengetahui kewajiban-kewajibannya. Sekiranya syari’at tidak ada, kata al-Ghazali manusia tidak akan berkewajiban mengetahui Tuhan, dan tidak akn berkewajiban berterima kasih kepadaNya. Sebagai kesimpulan dari uraian mengenai fungsi wahyu ini, dapat dikatakan bahwa wahyu mempunyai kedudukan terpenting dalam aliran Asy’ariyah.
Dengan demikian, jelaslah Al-Asy’ari sebagai seorang muslim yang ikhlas membela keperayaan dan mempercayai isi Al-Qur’an dan Hadits, dengan menempatkan sebagai dasar pokok, disamping menggunakan akal pikiran yang tugasnya tidak lebih dari pada memperkuat nash-nash tersebut.5
  1. Menurut Maturidiyah samarkand dan Bukhara
Menurut Maturidiyah, fungsi wahyu dan akal adalah sejajar atau seimbang. Al-Maturidi mangakui adanya kebaikan dan keburukan yang terhadap pada sesuatu perbuatan itu sendiri, dan akal bisa mengetahui kebaikan dan keburukan sebagai suatu perbuatan.
Seolah-olah perbuatan itu terbagi atas tiga kategori: yaitu, sebagian yang dapat diketahui kebaikannya dengan akal semata-mata, sebagian tidak dapat diketahui keburukannya dengan kal semata-mata, dan sebagian lagi yang tidak jelas kebaikan dan keburukannya bagi akal tetapi hanya bisa diketahui dengan Syara’ (Wahyu dan Hadits).
Al-Maturidi mengetahui pendapat Abu Hanifah, yang mengatakan bahwa meskipun akal sanggup mengetahui, namun kewajiban itu berasal dari Syara’, karena akal semata-mata tidak dapat bertindak sendiri dalam kewajiban-kewajiban agama, sebab yang mempunyai taklif (mengeluarkan perintah-perintah agama) hanya Tuhan sendiri.


BAB III
PENUTUP
Simpulan
Secara konseptual, istilah wahyu menunjukkan kepada nama-nama yang lebih populer seperti Al-Kitab, Al-Qur’an, Risalah, dan Balagh. Dalam terminologi Islam, wahyu yang dibawa oleh Nabi Muhammad itu dinamakan Al-Qur’an.
Sedangkan pembahasan tentang akal, sampai sekarang masih berkelanjutan. Didalam bahasa arab, akal diartikan kecerdasan, lawan kebodohan, dan diartikan pula dengan hati (qalb), suatu kekuatan yang membedakan manusia dari semua jenis hewan.6
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, akal adalah daya pikir untuk memahami sesuatu atau kemampuan melihat cara-cara memahami lingkungannya. Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan akal adalah gabungan dari dua pengertian di atas, yang disampaikan oleh ibn Taimiyah dan menurut kamus, yakni daya pikir untuk memahami sesuatu, yang di dalamnya terdapat kemungkinan bahwa pemahaman yang didapat oleh akal bisa salah atau bisa benar.
Menurut Mu’tazilah, fungsi wahyu adalah dibawah fungsi akal. Mereka lebih memuji akal mereka dibanding dengan ayat-ayat suci dan hadits-hadits Nabi.
Menurut Salafiyah, fungsi wahyu jauh lebih tinggi dibandingkan dengan fungsi akal.
Menurut Asy’ariyah, fungsi wahyu (Al-Qur’an) dan hadits adalah sebagai pokok, sedang fungsi akal adalah sebagai penguat Nash-nash wahyu dan hadits.
Menurut Maturidiyah, fungsi wahyu dan akal adalah sejajar atau seimbang. Al-Maturidi mangakui adanya kebaikan dan keburukan yang terhadap pada sesuatu perbuatan itu sendiri, dan akal bisa mengetahui kebaikan dan keburukan sebagai suatu perbuatan.


DAFTAR PUSTAKA

Ghazali, Adeng Muchtar. 2003, Pengembangan Ilmu Kalam dari Klasik Hingga Modern, Bandung: Pustaka Setia.
Rifai, Moh, dan Abdul Aziz, 1988. Pelajaran Ilmu Kalam. Semarang: CV. Wicaksana.
Ilhamuddin, 1997. Pemikiran Kalam Al-Baqillani. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya.
http://pusatpanduan.com/akal-dan-wahyu-menurut-harun-nasution-dan-m--quraish-shihab


1 Adeng Muhtar Ghazali, Perkembangan Ilmu Kalam dari Klasik hingga Modern, Pustaka Setia, Bandung, 2003, Hlm. 66

2 Abdul Salaim Mukrim, mengutip Kamus Lisan Al-Arab dalam buku, Pemikiran Islam antara Akal dan Wahyu, terjemah Anwar Wahdi hasi, PT Mediyatama Sarana Perkasa, Jakarta, 1988, Hlm. 3

3 http://pusatpanduan.com/akal-dan-wahyu-menurut-harun-nasution-dan-m--quraish-shihab


4 H. Moh Rifai, dan Abdul Aziz, Pelajaran Ilmu Kalam, CV Wicaksana, Semarang, 1988, Hlm. 79

5 H. Moh Rifai, dan Abdul Aziz, Pelajaran Ilmu Kalam, CV Wicaksana, Semarang, 1988, Hlm. 80



7 komentar: